Nama Majapahit, walau di dalamnya ada nama (buah) Maja, sebetulnya justru tidak merujuk pada buah Maja - karenanya ada kata pahit di belakang nama itu
Oleh: Marius Fransiskus NokuwoBudaya Sebagai Identitas Budaya adalah fondasi utama yang membedakan sebuah bangsa dari bangsa lainnya. Ia tidak ha
Dia terbangun dengan keringat dingin, dengan keyakinan bahwa babak terakhir dari kisahnya belum ditulis. Bahwa buah maja yang pahit itu mungkin masih
Malam turun di Majapahit. Malam pertama dari ribuan malam yang akan menentukan apakah kerajaan ini akan menjadi legenda, atau hanya menjadi catatan ..
Babak baru telah dimulai. Babak sebagai raja. Dan permainan ini bahkan lebih berbahaya daripada permainan ketika dia masih menjadi buronan.
"Sekarang," katanya, memandang ke arah timur di mana matahari mulai terbit. "Tidak ada lagi yang menghalangi kita. Jawa sudah bersih. Saatnya...
Raden Wijaya telah mencapai tujuannya. Dia telah menangkap simbol kekuasaan Kediri. Kini, dia memiliki legitimasi. Dia bukan lagi buronan. Dia adalah
"Dan kita," sahut Raden Wijaya dengan mata berkilat dingin, "adalah kekuatan ketiga yang akan memunguti bangkai mereka."
"Bersiaplah, Sora, Nambi," bisiknya pada pengikut setianya di malam hari. "Badai yang kita tunggu-tunggu akhirnya datang. Dan kita akan menjadi angin
Wiraraja menghilang dalam kegelapan, meninggalkan Raden Wijaya sendiri dengan rencana berbahaya dan masa depan yang berdarah. Di kejauhan, suara tawa
"Kita akan menjadi arsitek kehancuran mereka semua," bisik Raden Wijaya, lebih kepada dirinya sendiri. "Dari pahitnya buah ini, kita akan racun untuk
“Jebakan?” tanya Lembu Sora dengan sangsi. “Atau kesempatan kedua,” balas Raden Wijaya, matanya berbinar dengan pemahaman baru. “Dia bukan sekadar
Kasus mutilasi Mojokerto mengungkap konflik asmara toksik, tekanan ekonomi, dan emosi tak terkendali hingga menewaskan Tiara secara tragis.
Sebulan kemudian, pernikahan Prabu Bondhan Kejawan dan Nawangsih dirayakan meriah, tidak hanya di Majapahit tapi juga di Tarub. Pernikahan yang ...
Malam itu, Bondhan duduk sendirian di kamar ayahnya yang sudah kosong. Di meja masih ada surat-surat negara yang belum selesai, tinta yang sudah ...
"Apa yang akan terjadi dengan Terung?" tanya Bondhan. "Biarkan rakyat yang memutuskan. Mereka sudah cukup menderita karena ambisi seorang pemimpin."
"Ki Juru, kita harus kembali," katanya dengan suara parau. "Kembali? Bondhan, ayahandamu sekarat. Kita sudah hampir sampai Majapahit." "Nawangsih
Ki Ageng Tarub menatap ke arah Terung dengan mata berapi-api. "Kita selamatkan Nawangsih. Dan kalau perlu, kita perang!"
"Itu terserah kamu. Tapi ingat, apapun pilihanmu, akan ada konsekuensinya."
Ki Ageng langsung bangkit, mengambil keris pusaka dari lemari. "Jaga Nawangsih. Aku yang akan menghadapi mereka." "Tidak, Ki Ageng. Mereka dendam